Pages

Subscribe:

Senin, 23 Maret 2015

Titik Koma

“Ahhh…” Jariku tertusuk duri mawar tepat ketika seorang laki-laki melintas di samping tempatku berdiri. Tak sanggup aku menoleh. Hanya meliriknya saja. Dan bahkan laki-laki itu tiada bergeming dengan jeritan pelanku. Mungkin saja suaraku sudah terhempas bersama angin bersamaan dengan berlalunya laki-laki itu. Ya. Inilah alasan keberadaanku di sini. Menunggu seorang laki-laki yang selalu melewati jalan ini. Entah perasaan apa yang selalu membawaku ke tempat ini. Aku selalu berdebar ketika menantinya. Bahkan debaran itu semakin kencang ketika sosoknya melewatiku begitu saja. Aku tiada sanggup membayangkan jika dia menyapaku. Aku malah takut akan mati seketika karena jantungku bereaksi berlebihan. Ahh… bodohnya aku terlalu mengada-ada.

Lima menit berlalu. Aku memutar tubuhku. Berjalan lain arah dari laki-laki itu. Aku antarkan separuh hatiku untuk mengiringinya bepergian. Dan aku ambil kembali hatiku ketika melihatnya pulang ke rumah. Hari ke hari selalu sama. Seperti sebuah buku kosong yang hanya di buka setiap lembarnya tanpa menuliskan apapun. Seakan tiada sebuah pena di dunia yang bisa aku gunakan untuk membuat coretan dalam lembaran tersebut. Aku menikmati setiap detik yang aku habiskan untuknya.

Mungkin ini sebuah cinta.

Wujud cinta yang berbeda. Aku ingin mencintainya dengan sederhana, tanpa berucap kata yang akan membebaninya. Aku ingin mencintainya dengan sederhana, tanpa berharap apapun kepadanya. Aku ingin mencintainya dengan sederhana, tanpa meminta sebuah balasan. Mungkin aku sedikit naïf. Tapi inilah yang aku rasakan. Aku cukup bahagia ketika bisa melihat sosoknya. Aku bahkan tersipu malu ketika tanpa sengaja dia menatapku. Bahkan kegilaanku semakin menjadi saat melihat senyumnya. Walau dalam kenyataannyan senyum itu bukan ditujukan untukku. Senyum itu untuk seorang wanita tua yang kala itu berdiri di belakangku. Dia tiada pernah menganggapku ada. Kata orang waktu akan memperlihatkan semuanya. Dan ini sudah satu tahun berlalu. Semua masih sama saja. Mungkin waktu telah berbohong.

Sore ini sedikit berbeda. Aku menantinya dengan terduduk tanpa suara di bawah pohon. Berjarak 50 meter dari tempatku biasa berdiri. Badanku sudah terasa pegal. Hampir satu jam aku menunggunya. Namun, tak kunjung aku mendengar derit sepeda tua yang dikayuhnya. Aku putus asa. Aku berjalan lunglai menuju rumah bersamaan dengan suara adzan berkumandang. Ada yang kurang dalam hariku ketika tak melihatnya.

“Ah sungguh aneh.” Diriku bersuara. Memang benar tadi pagi aku melewatkannya berlalu. Aku harus ke pasar pagi-pagi buta untuk berbelanja. Seharusnya aku bisa dengan cepat menyelesaikannya. Namun sayang, aku terjebak dalam kemacetan. Pagi itu aku terlambat 30 menit dari waktu biasanya. Sesal semakin menghinggapi diriku.

“Lupakan. Masih ada hari esok.” Hati kecilku berusaha keras.
Siapa yang akan menyangka kehampaan akan berulang. Satu hari, dua hari, bahkan sampai sepuluh hari aku menunggunya, ia tak kembali. Laki-laki itu sudah tidak pernah melewati jalan yang sama. Laki-laki itu menghilang setelah satu kali saja aku melewatkannya. Aku menjadi takut kepada diriku sendiri. Aku takut bahwa semua ini hanya khayalanku belaka. Aku takut laki-laki itu sebuah kefanaan. Aku takut laki-laki itu hanya tercipta dari impianku belaka. Ahh tidak mungkin, sebuah bualan tidak akan bertahan begitu lama.

Aku masih berdiri di tempat yang sama, di hari yang ke sebelas tanpa kehadirannya. Hanya saja kali ini siang hari. Bahkan aku mengabaikan panas yang menyengat kulitku. Hingga tiba-tiba seorang laki-laki menghampiriku.

“Assallamu’allaikum.” Sapa laki-laki berkulit agak gelap itu.

“Wa’allaikumusallam.” Aku menjawab tanpa mengangkat pandanganku.

“Permisi mbak, saya mau bertanya.” Lanjut laki-laki itu.

“Iya silahkan.” Jawabku singkat. Masih tertunduk.

“Saya mencari seorang gadis yang selalu berdiri di sini tiap pagi dan sore hari. Tapi saya selalu melewatkannya karena saya harus bekerja dari waktu shubuh hingga menjelang Isya. Kali ini saya menyempatkan meliburkan diri untuk mencari gadis itu. Tapi tadi pagi saya tidak melihatnya. Apakah mbak menggenalnya?” Laki-laki itu menjelaskan.

Aku terperanjat kaget. “Mungkin saya orang yang mas cari.” Aku menatap laki-laki itu. Dia tersenyum lebar.

“Akhirnya mbak. Saya menyampaikan amanah. Ada surat dari kawan saya untuk mbak. Dia hanya berpesan untuk memberikan surat ini kepada gadis berkerudung yang selalu berdiri di tempat ini.” Ucap laki-laki itu sambil menyerahkan selembar kertas putih yang dilipat rapi.

Tanganku bergetar menerimanya. Tiada mampu aku berkata-kata. Mulai aku amati setiap huruf demi huruf yang tersusun menjadi kalimat. Aku tiada mampu lagi menahan perasaan ini. Air mataku mengalir tanpa aba-aba. Hatiku semakin berdegup. Rasa haru dan sendu bersatu. Menyakitkan, namun juga menyenangkan. Cinta ini menyambutku. Bukan hanya aku yang tak mampu berucap. Dia pun sama. Bukan hanya aku yang takut. Dia pun juga. Bukan hanya aku yang tak mampu berharap. Dia pun begitu. Waktu tidak pernah berbohong. Dia menjawab semuanya. Jika takdir sudah mengerakkan penanya, apa saja bisa digoreskan dalam sebuah lembaran kosong kehidupan.

Aku masih tetap ingin mencintainya dengan sederhana, melepasnya tanpa pernah sempat berkata mencintainya. Aku masih tetap ingin mencintainya dengan sederhana, berucap selamat tinggal tanpa pernah sempat berucap salam perkenalan. Aku masih tetap ingin mencintainya dengan sederhana, menyimpan rasa ini sampai tiba waktunya. Aku percaya. Waktu akan membawanya kembali. Seperti titik koma, selalu ada macam-macam kata di belakangnya. Selalu ada kelanjutan dari sebuah kisah.

Metamorfosis Puisi berjudul "Aku Ingin" karya "Sapardi Djoko Damono"
Cerpen ini merupakan tantangan menulis #RahimPuisi dari #KampusFiksi DivaPress

Selasa, 03 Maret 2015

Labyrinthine

          Mendung mulai menggantung di langit senja. Hingga gurat merah cahayanya tersapu oleh awan-awan gelap yang mulai merapat. Seakan suasana kala itu mewakili perasaan seorang yang sedang tersayat hatinya. Seorang yang hanya mampu meratap sedih.
          “Kenapa harus seperti ini? Haaaaaa.” Alif berteriak. Seakan ingin menumpahkan segala kekesalan dan kesedihan yang dialaminya. Sebuah rasa yang begitu menyesakkan di setiap himpitan dada. Rasa yang mulai merasuki dirinya. Rasa yang bahkan waktu pun tak akan mampu menghapusnya. Alif Dwi Anggara. Seorang laki-laki berusia 25 tahun yang baru saja kehilangan calon istrinya. Wanita terkasihnya telah direnggut dari dunia. Meninggalkan kehampaan yang mendalam tepat satu hari sebelum hari pernikahannya.
          “Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa?” Alif mempertanyakan pada dirinya sendiri. Terduduk lesu di samping gundukan tanah yang masih basah tempat persemayaman terakhir dari Kana Novita, gadis yang diharapkan menjadi pendamping dalam hidupnya. Namun, pupus ditelan kepahitan. Isak tangisnya tiada lagi terbendung. Semuanya meluap bagai banjir yang telah menenggelamkan harapan dan angan-anggannya. Lebih dari satu jam Alif meratapi kepedihannya, Ia kemudian bangkit dari kelumpuhan nalarnya. Sepanjang langkah kakinya pun, Alif tiada henti menjerit, memaki, menangis, bahkan terkadang dia melontarkan pertanyaan tidak masuk akal kepada orang yang ditemuinya. Kematian belahan jiwanya nyaris membuat Alif seperti orang gila.
          “Kenapa semua ini terjadi Tuhan? Kenapa?” Tidak cukup meneriaki dirinya sendiri, Alif seolah ingin memprotes keadaan kepada Tuhan. Sembari berjalan tanpa tujuan air matanya terus mengalir. Matanya yang sembab seakan mengaburkan setiap pandangan yang ada di hadapanya. Bahkan telinga Alif pun ikut mengabaikan setiap suara di sekitarnya. Hingga Alif tiada tersadar ketika deru mobil yang sangat kencang menyambar tubuhnya. Tak ada waktu untuk menoleh. Tak ada waktu untuk berteriak. Apalagi waktu untuk menghindar. Tubuh Alif terlempar keras ke atas hamparan aspal yang mulai basah karena hujan telah mulai menguyur. Cairan kental berwarna merah mulai mengucur deras dari kepala bagian kanannya. Terkapar tanpa sadar. Orang-orang di sekitar tempat kecelakaan segera menolongnya. Rasa kemanusiaan antara sesama telah membawa Alif ke sebuah rumah sakit.

                                                            *****

         Jemari-jemarinya bergoyang kecil. Bulu matanya bergerak perlahan. Kelopak matanya mulai terangkat. Satu kedipan kecil. Membuat semua yang sedang mengelilinginya tersentak bahagia.
         “Syukurlah kau sudah sadar Alif.” Ucap seorang wanita paruh baya yang wajahnya sudah mulai berkeriput tipis.
          “Ibu sangat khawatir melihat kondisimu.” Lanjutnya dengan mata yang masih terlihat basah. Sudah bisa dipastikan wanita ini baru saja menangis.
          “Ah…Ibu. Aku kenapa? Aku di mana? Apa yang terjadi?” Alif merasa kebingungan. Belum tuntas pertanyaanya Alif berteriak.
         “Awww…” Alif meringis menahan sakit seraya memegangi bagian kepalanya yang terus berdenyut nyeri.
         “Ibu apa yang terjadi?” Alif Mengulangi pertanyaanya. Seakan ingatan Alif akan detik-detik sebelum kecelakaan itu terjadi telah tersamarkan. Belum sempat ibunya menjawab, tiba-tiba pintu terbuka.
          “Cklek..klek.” Suara derit pintu terdengar.
          “Kamu baru saja mengalami kecelakaan Alif. Dan sekarang kamu ada di rumah sakit.” Suara seorang perempuan yang secara tiba-tiba ikut dalam diskusi kecil mereka telah membuyarkan pikiran alif. Lalu, alif berusaha memiringkan kepalanya 45 derajat ke arah kiri. Apa yang dilihatnya seakan membuat dunia berhenti sejenak, waktu tiada lagi berjalan, dan jantungnya serasa berhenti berdetak karena keterkejutannya yang luar biasa. Alif membelalakkan kedua bola matanya. Mulutnya menganga lebar. Kedua bibirnya berkali-kali bergerak ke atas dan ke bawah beriringan. Namun, tiada satu kata pun yang sanggup terlontar.
          Perempuan itu berjalan mendekati pembaringan Alif. Senyumnya tersungging tipis. Tanpa segan perempuan itu duduk di samping Alif. Tepat di depan wajah Alif yang sedang membeku kaku seperti melihat hantu. Seolah menjadikan ngilu di kepalanya tiada terasa lagi. Namun, kali ini lebih ke arah ngilu hati yang dirasakannya. Jemari kecil perempuan itu mengusap lembut helai demi helai rambut Alif yang berantakan tanpa rasa sungkan. Hingga akhirnya menyadarkan Alif dari dunianya yang serasa berhenti untuk sesaat.
          “Ka…na.” Kata pertama yang terucap untuk perempuan tersebut.
          “Iya Alif.” Jawab perempuan itu dengan suara yang begitu menenangkan.
          “Bukannya kamu telah…” Tiba-tiba mulut Alif serasa terkunci. Ia menghentikan kata-katanya.
          “Telah apa Alif?” Perempuan itu tetap menanggapinya dengan tenang. Kini pandangan Alif beralih ke arah ibunya.
           “Ibu. Kenapa Kana bisa ada di sini? Bukannya dia telah….” Kembali Alif memilih berhenti. Diam. Tidak melanjutkan kalimat berikutnya. Dan ibunya hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaanya.
           Akhirnya Alif menarik nafas panjang. Berusaha menahan semua sakit yang dirasakannya. Dan dihempasakan bersama udara yang keluar dari paru-parun. Alif meneruskan juga setiap kata yang berkali-kali tertahan itu.
          “Kana.” Berhenti sesaat.
          “Bukankah kamu sudah meninggal?” Alif melanjutkan dengan suara bergetar dan nafas yang serasa diburu dengan kata yang terpenggal-penggal tidak semestinya.
          “Hahahaha.” Tawa terbahak-bahak keluar dari mulut perempuan yang sedari tadi disebut dengan nama Kana tersebut. Reaksi terbalik yang sedari tadi ditunjukkan oleh Alif. Ibarat malan dan siang. Alif yang penuh kesuraman dan ketegangan, gelap. Dan perempuan itu bagai matahari siang, cerah bersinar.
          “Astaga Alif. Sepertinya benturan di kepalamu telah membuat pikiranmu berantakan.” Kana menanggapinya dengan bercanda.
          “Tapi aku benar-benar telah mengikuti prosesi pemakamanmu Kana.” Alif tetap bersikeras. Rahang wajahnya menegang. Perasaan takut, bingung, dan senang bercampur.
          “Alif…” Kana memanggilnya dengan penuh pinta.
          “Kendalikan dirimu. Tenangkan pikiranmu. Jangan berfikir yang aneh-aneh. Perlahan…kumpulkan ingatan-ingatan terbaikmu tentang kita.” Kana berbisik pelan tepat di samping telinga Alif. Tiada reaksi. Alif hanya diam.
           Alif seakan kembali dalam kekosongan pikirannya. Dia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi, dengan apa yang dilihatnya. Seolah-olah matanya membuat tipuan besar. Sebuah trik yang telah memproyeksikan seseorang yang dirindukannya. Seseorang yang selalu dicintainya. Sesorang yang menjadi dunianya untuk singgah.
          “Percayalah Alif, aku selalu di sini. Di sampingmu. Menjagamu.” Kana melanjutkan perkataanya. Perempuan bertubuh mungil berkulit putih itu beranjak dari tempat duduknya. Ia berbalik arah dan berjalan perlahan.
          “Aku keluar sebentar. Nanti aku pasti kembali lagi. Kana berpamitan. Tiada mampu Alif membalasnya. Ia masih membisu. Ia mulai mencari-cari, merangkai setiap kejadian yang diingatnya. Kenangan pahit atau pun manis semua berbenturan di kepala Alif. Hingga membuat kepalanya bereaksi lagi.
          “Aaahhhh..” Alif meringis kesakitan.
          “Ibu. Bukankah Kana sudah meninggal?” Alif berusaha mencari jawaban.
          “Dia memang Kana. Calon istrimu.” Ibunya berucap tanpa memberikan jawaban pasti, dilengkapi senyum penuh arti dan gerakan mengangkat kedua bahu secara bersamaan. Alif tak mampu menduga-duga lagi. Ia sudah kelelahan.
          “Sudah jangan terlalu dipusingkan. Kamu istirah dulu. Pejamkan mata dan lupakan semua hal yang menyakitkan.” Ibunya melanjutkan sambil mengelus-elus dengan lembut bagian kepala alif yang terbungkus rapi oleh sekumpulan perban putih yang terdapat bercak merah darah.
          “Ibu keluar dulu biar kamu bisa tidur kembali.” Perbincangan malam itu berakhir dengan penuh pertanyaan yang menyesakkan. Ingin semuanya mendapat jawaban. Namun, tak tahu harus ke mana mencarinya. Yang mungkin saja kebenaran dan semua jawaban ada di dalam diri Alif itu sendiri. Bergulatan batin itu terus terjadi. Antara tidak percaya dan ingin mempercayai penglihatannya. Di dalam hatinya yang terdalam Alif sungguh merasakan kebahagian karena dapat bertemu kembali dengan Kana, pujaan hatinya. Namun di sisi lain ingatanya, kenangan buruk tentang kematian Kana terus berputar. Bagai rol film yang terus menayangkan adegan terburuk. Kebahagian dan kesedihan beradu mencari pembenaran dalam diri Alif. Pikiran yang haus akan jawaban bagai gelas kosong yang tertiup angin. Harus diisi air agar tidak terjatuh. Begitu pula dengan hati Alif. Harus mendapatkan titik terang untuk menuntun hidupnya.
           Kebahagian sepertinya lebih mudah diterima oleh setiap hati manusia. Begitu juga dengan Alif. Akhirnya ia memutuskan untuk mempercayai penglihatannya. Alif menghapus bagian yang menyakitkan. Alif menganggap kematian Kana hanya ada dalam fragmen mimpi terburuknya ketika terlelap tidur. Tragedy menyakitkan itu hanya bunga tidur. Dan sekarang Alif sudah terbangun. Melihat Kana selalu datang menjenguknya dan menceritakan berbagai kisah yang telah mereka lalui berdua adalah bukti nyata pilihan pikirannya adalah benar.
          “Kamu tidak lupa kan kalau satu hari lagi adalah hari pernikahan kita?” Tanya Kana ketika menjenguk Alif di hari yang ke 9 selama Alif mendapat perawatan di rumah sakit.
          “Ah benarkah?” Alif seperti menyangsikan.
          “Ahhh.” Kana cemberut. Kecewa mendengar jawaban Alif.
          “Maaf sayang, benturan kepala ini membuatku kacau. Aku seperti melupakan segalanya. Tapi tidak tentangmu hanya mungkin tentang pernikahan kita.” Alif tersenyum jahil. Berusaha mengoda gadisnya itu.
          “Huhh.” Kana mengkerucutkan bibirnya. Mendeklarasikan kemarahannya.
          “Tapi sayang percayalah. Walaupun daya ingat dalam otakku melemah. Mata ini kabur untuk melihat. Bibir ini kelu untuk berucap mesra. Tetap percayalah hati ini akan tetap mencintaimu. Ia akan punya memori untuk mengingat semua keindahanmu, mata hati untuk tetap melihat kebaikanmu, dan rasa untuk tetap menjagamu.” Alif berkata sambil menatap tajam ke arah bola mata Kana. Ucapan Alif sepertinya telah melelehkan kemarahan hati Kana, perempuan itu tersenyum dan memeluk Alif.
           “Sayang. Walaupun aku pelupa, kamu masih tetap bersedia menjadi istriku kan? Penerang dalam setiap gelapku. Penopang dari keterpurukanku.” Alif melamar calon pendamping hidupnya itu untuk kesekian kalinya. Namun sayang, Alif tiada mendapat jawaban. Hanya pelukan yang semakin erat yang dirasakannya. Alif membalasnya. Ia membelai lembut kepala Kana yang tenggelam di atas dadanya. Kursi tempat Kana terduduk seolah menjadi saksi jawaban yang hanya melalui bahasa tubuh.
            Satu hari menjelang hari pernikahan telah tiba. Kana sangat bergembira. Tiada satu menit pun terlewatkan tanpa berucap kata-kata yang menyangkut tentang pernikahan. Entah itu cincin pernikahan, gaun yang dikenakan, bahkan tentang bayangan keharmonisan keluarga kecil mereka kelak. Namun sangat disayangkan, Alif merasakan hal yang sebaliknya. Alif merasa kecewa. Ia sangat sedih jika membayangkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Kondisinya memburuk. Daya tahan tubuhnya melemah. Alif hanya mampu berbaring. Bergerak sedikit saja membuat kepalanya nyeri seperti mendapat beribu-ribu pukulan yang sangat keras. Alif tidak sanggup membayangkan kesedihan yang akan ditanggung Kana. Karena rasa kehilangan pernah Alif alami dalam mimpi terburuknya. Setidaknya itu penganggapannya. Alif tidak akan tega melihat air mata Kana yang tak akan kunjung kering. Akan tetapi Alif tidak dapat melakukan apa pun saat ini. Ia hanya mampu pasrah. Ia merasa maut sudah siap-siap menjemputnya.
             “Sayang…Kana…jangan sekali pun kamu menangisi kepergianku. Jangan sekalipun kamu meratapinya. Jangan sekalipun kamu menyalahkan keadaan. Semua ini sudah takdir. Batas hidup manusia sudah ditentukan. Siapa pun itu tidak akan bisa menawarnya. Tetaplah tersenyum. Jangan kau gantikan tawamu dengan kesedihan yang tiada berguna. Berjanjilah kepadaku sayang.” Ucapan Alif terdengar seperti pesan terakhir.
             “Aku berjanji sayang. Ketika mengingatmu aku akan tersenyum. Ketika bayang-bayangmu tanpa sengaja hadir dalam pikiranku aku akan tertawa. Ketika kenangan pahit ini terlintas aku akan mengigit bibirku keras-keras supaya air mataku tetap tertahan.” Kana membalas ucapan Alif dengan senyum yang jelas-jelas dipaksakan.
Alif tersenyum. “Jangan kau gigit bibirmu. Jangan berbuat bodoh seperti itu sayang.” Akhirnya Kana tiada mampu lagi menahan. Tangisnya pecah juga.
            Kana buru-buru menghapus air matanya. “Sayang… aku tahu ini bukanlah sebuah akhir dari perjalananmu. Melainkan ini adalah permulaan dari perjalananmu yang lain. Jangan pernah bersedih lagi. Jangan pernah menghujat dunia. Jangan pernah mempertanyakan apapun kepada Tuhan. Percayalah bahwa semua yang telah digariskan Tuhan untuk terjadi adalah hal yang terbaik. Aku akan selalu hidup di tempat tersembunyi dalam hatimu sayang. Aku akan selalu memenuhi ruang hatimu dan berkeliling dalam pikiranmu. Setiap waktu akan berusaha menjagamu dari tempat yang berbeda, waktu yang berbeda, dengan caraku sendiri. Percayalah akku akan tetap mencintaimu sayang. Dan begitu pun sebaliknya. Aku mempercayai kau pasti sangat mencintaiku lebih dari yang aku rasakan. Namun, aku tidak ingin seegois itu dengan tetap membelenggumu dalam kenangan kita. Sayang…kau boleh melepaskanku jika sudah siap. Kau boleh mengisi kembali hatimu dengan berbagai hal baru. Bahkan dengan cinta yang baru. Aku menginginkan kamu bahagia sayang. Ikhlaskan dan semua akan baik-baik saja.” Senyum bercampur ait mata kebahagiaan menghiasi wajah Kana ketika menyelesaikan pesan terakhirnya. Hingga kini mata Alif telah tertutup rapat. Mulutnya telah mengantup. Hembusan nafasnya tiada lagi terasa. Detak jantungnya telah berhenti.Alif tertidur untuk selamanya.

                                                       *****

           Sentakan yang dahsyat terasa. Tubuh Alif serasa terjatuh dari ketinggian yang tiada berujung. Ia merasakan dunia yang berbeda. Kali ini lebih dingin dari pada dunia yang sebelumnya. Alif mulai memperhatikan sekelilingnya. Semua serba berwarna putih. Ruangan di mana tempatnya berada sekarang tidak begitu lebar. Hanya sekitar 3 x 4 meter. Tubuhnya basah oleh keringat yang terus mengucur dari pori-porinya.
           “Akhirnya kamu sadar juga Alif.” Perkataan seseorang menguncang pikiran Alif yang sedang meraba-raba keadaan sekitarnya.
           “Hah?” Alif tercengang.
           “Apakah ini di surga?” Alif melanjutkan bertanya. Semua orang yang mengelilingnya saling bertukar pandang.
           “Kamu di rumah sakit Nak. Kamu di dunia bukan di surga. Kamu baru saja tersadar dari koma.” Seorang bertubuh tegap berkumis tipis mewakili menjawab pertanyaan Alif. Namun, Alif semakin bingung.
           “Koma? Berapa lama?” Alif tidak yakin dengan apa yang diucapkannya.
           “Sudah 3 bulan kamu terlelap dalam masa komamu Nak.” Laki-laki itu menjawab kembali.
            “Ayah, ibu, saudaramu, bahkan teman-temanmu mengkhawatirkanmu. Sekarang semuanya di sini menjagamu.” Laki-laki berkaca mata yang ternyata ayah Alif itu melanjutkan pernyataannya. Tak mampu berkata-kata. Alif hanya mengedarkan pandangannya ke segala arah. Disaksikannya wajah-wajah sedih jelas tergambar dalam diri mereka.
             Alif kembali memikirkan segala hal yang dilaluinya kesekian kalinya. Ia selalu dibingungkan dengan kejadian yang dialaminya. Satu hal yang selalu sama, ia selalu tersadar di atas ranjang rumah sakit. Dan satu hal yang berbeda, di dunianya yang sekarang tidak ada seorang Kana. Gadis kesayangannya.
            “Mati untuk hidup kembali.” Bisik hati kecil Alif.
Perenungan dan penjelasan panjang kembali dialami Alif. Akhirnya ia mengerti. Kecelakaan ditengah gerimis yang ia alami selepas prosesi pemakaman Kana membawanya ke dalam koma panjang. Dan kondisi koma itu membawanya ke dalam dunia proyeksi. Dunia yang tercipta dari imajinasi Alif. Dunia yang memproyeksikan perasaan terdalam yang diinginkan Alif. Beberapa hari di dunia koma adalah hitungan bulan di dunia nyata. Namun, kejadian itu membawa satu titik pencerahan terhadap Alif. Ia harus bisa merelakan kepergian Kana dan mulai menjalani kehidupan baru tanpa kesedihan yang berkepanjangan. Orang yang telah pergi meninggalkan kita dari dunia akan tetap mampu kita hidupkan di dalam hati dan pikiran kita.
                Kehidupan seakan menyerupai sebuah labirin. Terdapat banyak jalan utuk menuju ke dalam satu arah yang belum pasti. Terkadang harus membelok dua kali untuk menemukan jalan berikutnya. Terkadang sudah berputar-putar namun kita hanya menemuai jalan buntu. Tak khayal juga kita harus putar balik untuk mencari jalan yang lain. Apa pun itu kita harus berusaha mencari jalan terbaik. Jalan yang paling tepat untuk bisa membawa kita ke dalam satu tujuan. Pintu keluar. Pintu prenyelesaian dari setiap pernak pernik kehidupan yang dialami.