Pages

Subscribe:

Senin, 23 Maret 2015

Titik Koma

“Ahhh…” Jariku tertusuk duri mawar tepat ketika seorang laki-laki melintas di samping tempatku berdiri. Tak sanggup aku menoleh. Hanya meliriknya saja. Dan bahkan laki-laki itu tiada bergeming dengan jeritan pelanku. Mungkin saja suaraku sudah terhempas bersama angin bersamaan dengan berlalunya laki-laki itu. Ya. Inilah alasan keberadaanku di sini. Menunggu seorang laki-laki yang selalu melewati jalan ini. Entah perasaan apa yang selalu membawaku ke tempat ini. Aku selalu berdebar ketika menantinya. Bahkan debaran itu semakin kencang ketika sosoknya melewatiku begitu saja. Aku tiada sanggup membayangkan jika dia menyapaku. Aku malah takut akan mati seketika karena jantungku bereaksi berlebihan. Ahh… bodohnya aku terlalu mengada-ada.

Lima menit berlalu. Aku memutar tubuhku. Berjalan lain arah dari laki-laki itu. Aku antarkan separuh hatiku untuk mengiringinya bepergian. Dan aku ambil kembali hatiku ketika melihatnya pulang ke rumah. Hari ke hari selalu sama. Seperti sebuah buku kosong yang hanya di buka setiap lembarnya tanpa menuliskan apapun. Seakan tiada sebuah pena di dunia yang bisa aku gunakan untuk membuat coretan dalam lembaran tersebut. Aku menikmati setiap detik yang aku habiskan untuknya.

Mungkin ini sebuah cinta.

Wujud cinta yang berbeda. Aku ingin mencintainya dengan sederhana, tanpa berucap kata yang akan membebaninya. Aku ingin mencintainya dengan sederhana, tanpa berharap apapun kepadanya. Aku ingin mencintainya dengan sederhana, tanpa meminta sebuah balasan. Mungkin aku sedikit naïf. Tapi inilah yang aku rasakan. Aku cukup bahagia ketika bisa melihat sosoknya. Aku bahkan tersipu malu ketika tanpa sengaja dia menatapku. Bahkan kegilaanku semakin menjadi saat melihat senyumnya. Walau dalam kenyataannyan senyum itu bukan ditujukan untukku. Senyum itu untuk seorang wanita tua yang kala itu berdiri di belakangku. Dia tiada pernah menganggapku ada. Kata orang waktu akan memperlihatkan semuanya. Dan ini sudah satu tahun berlalu. Semua masih sama saja. Mungkin waktu telah berbohong.

Sore ini sedikit berbeda. Aku menantinya dengan terduduk tanpa suara di bawah pohon. Berjarak 50 meter dari tempatku biasa berdiri. Badanku sudah terasa pegal. Hampir satu jam aku menunggunya. Namun, tak kunjung aku mendengar derit sepeda tua yang dikayuhnya. Aku putus asa. Aku berjalan lunglai menuju rumah bersamaan dengan suara adzan berkumandang. Ada yang kurang dalam hariku ketika tak melihatnya.

“Ah sungguh aneh.” Diriku bersuara. Memang benar tadi pagi aku melewatkannya berlalu. Aku harus ke pasar pagi-pagi buta untuk berbelanja. Seharusnya aku bisa dengan cepat menyelesaikannya. Namun sayang, aku terjebak dalam kemacetan. Pagi itu aku terlambat 30 menit dari waktu biasanya. Sesal semakin menghinggapi diriku.

“Lupakan. Masih ada hari esok.” Hati kecilku berusaha keras.
Siapa yang akan menyangka kehampaan akan berulang. Satu hari, dua hari, bahkan sampai sepuluh hari aku menunggunya, ia tak kembali. Laki-laki itu sudah tidak pernah melewati jalan yang sama. Laki-laki itu menghilang setelah satu kali saja aku melewatkannya. Aku menjadi takut kepada diriku sendiri. Aku takut bahwa semua ini hanya khayalanku belaka. Aku takut laki-laki itu sebuah kefanaan. Aku takut laki-laki itu hanya tercipta dari impianku belaka. Ahh tidak mungkin, sebuah bualan tidak akan bertahan begitu lama.

Aku masih berdiri di tempat yang sama, di hari yang ke sebelas tanpa kehadirannya. Hanya saja kali ini siang hari. Bahkan aku mengabaikan panas yang menyengat kulitku. Hingga tiba-tiba seorang laki-laki menghampiriku.

“Assallamu’allaikum.” Sapa laki-laki berkulit agak gelap itu.

“Wa’allaikumusallam.” Aku menjawab tanpa mengangkat pandanganku.

“Permisi mbak, saya mau bertanya.” Lanjut laki-laki itu.

“Iya silahkan.” Jawabku singkat. Masih tertunduk.

“Saya mencari seorang gadis yang selalu berdiri di sini tiap pagi dan sore hari. Tapi saya selalu melewatkannya karena saya harus bekerja dari waktu shubuh hingga menjelang Isya. Kali ini saya menyempatkan meliburkan diri untuk mencari gadis itu. Tapi tadi pagi saya tidak melihatnya. Apakah mbak menggenalnya?” Laki-laki itu menjelaskan.

Aku terperanjat kaget. “Mungkin saya orang yang mas cari.” Aku menatap laki-laki itu. Dia tersenyum lebar.

“Akhirnya mbak. Saya menyampaikan amanah. Ada surat dari kawan saya untuk mbak. Dia hanya berpesan untuk memberikan surat ini kepada gadis berkerudung yang selalu berdiri di tempat ini.” Ucap laki-laki itu sambil menyerahkan selembar kertas putih yang dilipat rapi.

Tanganku bergetar menerimanya. Tiada mampu aku berkata-kata. Mulai aku amati setiap huruf demi huruf yang tersusun menjadi kalimat. Aku tiada mampu lagi menahan perasaan ini. Air mataku mengalir tanpa aba-aba. Hatiku semakin berdegup. Rasa haru dan sendu bersatu. Menyakitkan, namun juga menyenangkan. Cinta ini menyambutku. Bukan hanya aku yang tak mampu berucap. Dia pun sama. Bukan hanya aku yang takut. Dia pun juga. Bukan hanya aku yang tak mampu berharap. Dia pun begitu. Waktu tidak pernah berbohong. Dia menjawab semuanya. Jika takdir sudah mengerakkan penanya, apa saja bisa digoreskan dalam sebuah lembaran kosong kehidupan.

Aku masih tetap ingin mencintainya dengan sederhana, melepasnya tanpa pernah sempat berkata mencintainya. Aku masih tetap ingin mencintainya dengan sederhana, berucap selamat tinggal tanpa pernah sempat berucap salam perkenalan. Aku masih tetap ingin mencintainya dengan sederhana, menyimpan rasa ini sampai tiba waktunya. Aku percaya. Waktu akan membawanya kembali. Seperti titik koma, selalu ada macam-macam kata di belakangnya. Selalu ada kelanjutan dari sebuah kisah.

Metamorfosis Puisi berjudul "Aku Ingin" karya "Sapardi Djoko Damono"
Cerpen ini merupakan tantangan menulis #RahimPuisi dari #KampusFiksi DivaPress

0 komentar:

Posting Komentar